Sejarah Shalat

Ahmad Sarwat, Lc. MA
32 halaman
Februari 2000

diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah juga yang bunyinya :

إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ إِلَى أَن قَالَ وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعِينَ
Sesungguhnya Imam itu untuk diikuti, bila dia shalat sambil duduk maka duduklah kalian semua. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hal ini Mazhab Al-Hanafiyah masih pakai hadits yang lama dan belum mengikuti kabar terakhir, sehingga masih saja mensyaratkan imam harus bisa ruku’ dan sujud secara normal. Kalau ruku’ dan sujud secara normal itu pun tidak bisa dilakukannya, maka hukumnya tidak boleh dijadikan imam.

Ibnu Abdin (w. 1252 H) salah satu ulama rujukan dalam mazhab Al-Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya Hasyiah Ibnu Abdin atau yang lebih dikenal dengan Radd Al-Muhtar ‘ala Ad-Dur AlMukhtar dengan mengutipkan matan dari kitab yang disyarahnya sebagai berikut :

وَصَحَّ اقْتِدَاءُ وَقَائِمٌ بِقَاعِدٍ يَرْكَعُ وَيَسْجُدُ؛ لِأَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - صَلَّى آخِرَ صَلَاتِهِ قَاعِدًا وَهُمْ قِيَامٌ
Sah hukumnya orang yang berdiri bermakmum kepada imam yang duduk asalkan masih bisa ruku’ dan sujud. Sebab Nabi SAW di akhir hayatnya shalat sambil duduk, sedangkan para shahabat jadi